Ada apa sih, setelah pemilihan umum legislatif 2014? Komisi Pemilihan Umum melakukan rekapitulasi suara? Para calon
legislator dengan sedikit perolehan suara mulai mengalami konsleting otak? Atau
partai politik mulai menyusun strategi koalisi? Betul sih, tapi bukan itu yang
ingin saya bahas.
Bulan Maret, saat semester genap baru
saja dimulai, saya beserta mahasiswa seangkatan, tiba-tiba disadarkan bahwa tahun
ini sudah waktunya kami lulus. Ah iya. Kami yang angkatan 2010 sudah waktunya
lulus di tahun 2014. Padahal, saya sendiri masih belum memulainya. Sama sekali.
Di awal semester ini pula, kami
mendapat kabar dua mahasiswa satu angkatan ada yang lulus. Ya, lulus,
saudara-saudara. 3,5 tahun. Ada yang mau melanjutkan studi ke luar negeri, ada
pula yang sudah bersiap bekerja di sebuah perusahaan di Ibu Kota. Sementara saya,
sudah melakukan apa?
Vella memilih membuat karya bidang. Sedangkan
Dhea dan saya akan menempuh jalan paling mainstream—bikin skripsi. Vella sudah
mengajukan proposal program ke sebuah stasiun televisi sejak lama. Bahkan berulang
kali berkonsultasi pada dosen. Mungkin sebentar lagi akan mulai eksekusi. Sedangkan
saya? Baru sekali bertemu dosen untuk membahas isu. Sudah, itu saja.
Di sebuah diskusi yang agak serius bersama
Dhea, kami sepakat akan mengerjakan skripsi setelah pemilu. Pokoknya setelah pemilu. Ya, setelah pemilu kami harus tancap gas mengebut penggarapan skrispi.
Nah, terhitung dari awal Maret sampai sekarang,
banyak sekali yang bertanya nasib skripsi kami. Setiap ada yang bertanya
skripsi, kami selalu menjawab “Setelah pemilu.”
Saat saya pulang untuk nyoblos di
rumah, ibu juga bertanya tentang skripsi. Seperti biasa, saya menjawab, “Entar
deh. Dian garap skripsi setelah pemilu.” Ibuku terlihat kebingungan, tapi saya biarkan
saja.
Begitu juga teman-teman di kampus. Beberapa
di antara mereka bahkan menanyakannya pada Vella. Seperti kami juga, Vella pun
menjawab, “Entar habis pemilu”, tanpa menjelaskan maksudnya. Mereka kebingungan,
biarkan saja.
Sebenarnya, asalan mengerjakan skripsi
setelah Pemilu ini gara-gara Dhea. Pokoknya gara-gara Dhea *maksa amat sih Ian*.
Iya, karena Dhea bekerja di sebuah stasiun televisi, tentu saja jelang pemilu
dia sangat sibuk. Dari tugas rutinnya sebagai presenter berita, membawakan
talkshow, sampai live report kampanye di daerah. Pokoknya dia sangat sibuk.
Nah, sementara saya? Satu-satunya
alasan saya menunda skripsi adalah Dhea sibuk. Karena Dhea sibuk, saya jadi tidak punya kawan nongkrong di perpustakaan
atau di lorong misterius (ruang jurusan). Karena Dhea sibuk, saya semacam
memiliki teman yang senasib. Karena Dhea sibuk, saya jadi tidak tega
membicarakan skripsi dengannya *apa pula ini. Dan ternyata masih banyak alasan “karena
Dhea sibuk” lainnya.
Meski sejak lama kami berencana
memulai skripsi setelah pemilu, nyatanya hari ini, sehari setelah pemilu
berlangsung, kami belum juga memulainya. Berbagai rencana sampai akhir pekan
sudah tersusun. Akhirnya, dengan berat hari, rencana memulai skripsi harus
diundur lagi sampai pekan depan. Semoga pekan depan, rencana memulai skripsi
tidak molor lagi...
Jyaaahh..kasian Dhea jadi kambing hitam.Iso-iso ne Dian wae ini mah =,=
ReplyDeleteHuahahaha. Padahal aku enggak maksud begitu loh :D
DeleteDian tegaaa.. namaku disebut berkali-kali, jadi alasan utama kamu ngga jalan-jalanin skripsi hahaha :D kita kok awkward buanget yak, pinter buangett buat cari-cari alasan yg padahal jelas karena faktor M.A.L.E.S wkwkwk
ReplyDeleteCut, kamu tau nggak, kalau tulisan ini sebenarnya untuk mengangkat citramu sebagai temenku yang rajin. Enggak kayak aku yang malasnya sudah diakui dunia, haha :D
Deletenice post
ReplyDelete