Tuesday, 1 April 2014

Batu Nisan

Salah satu batu nisan di Museum Taman Prasati.
Sekitar pertengahan tahun lalu, tiba-tiba saya tertarik dengan keindahan batu nisan. Iya, batu nisan. Di mata saya, batu nisan menyimpan banyak cerita tentang peranan manusia yang dimakamkan di bawahnya semasa hidup.

Tapi ini bukan batu nisan biasa. Batu nisan yang saya maksud adalah milik orang-orang Verenigne Oost Indishe Compagnie (VOC) atau Serikat Badan Usaha Dagang Belanda di Asia. Batu nisan peninggalan VOC itu biasanya memiliki nilai seni yang bagus. Bahkan, batu nisan yang indah itu bisa kita “baca”.
Batu nisan yang kebanyakan milik bangsawan dan pejabat Belanda itu bisa ditemui di Museum Taman Prasasti, Gereja Sion, Museum Wayang, atau Pulau Onrust. Di antara tempat penyimpanan batu nisan itu, Museum Taman Prasasti memiliki koleksi terbanyak.

Di Museum Taman Prasasti, kita bisa menemukan batu nisan dengan bentuk yang unik. Misalnya saja batu nisan berbentuk buku milik Direktur Stovia Dr HF Roll, yang semasa hidup mendukung pendidikan Sutomo dan gerakan Boedi Oetomo. Ada pula yang berupa patung perempuan dengan kepala tertelungkup pada lengan. Patung itu disebut Si Cantik Menangis, yang konon tengah menangisi suaminya yang bunuh diri akibat terkena malaria.

Selain batu nisan yang “mudah dimengerti” seperti milik Dr Roll dan suami Si Cantik Menangis, ada juga batu nisan yang memerlukan analisis panjang agar bisa diketahui maknanya. Batu nisan VOC memang menyimpan banyak pesan. Pesan pada batu nisan itu berupa verbal dan nonverbal. Pesan verbal biasanya meliputi nama, tempat dan tanggal lahir, jabatan, umur, dan tempat waktu meninggal. Sementara pesan nonverbal biasanya berupa lambang-lambang heraldik yang memiliki makna tertentu.

Tema batu nisan biasanya disesuaikan dengan orang yang dimakamkan. Konon, semakin rumit pahatan pada batu nisan, berarti orang yang dimakamkan di bawahnya memiliki derajat yang juga tinggi di masyarakat. Pahatan-pahatan pada batu nisan itu adalah lambang heraldik yang bisa dimaknai menggunakan analisis semiotika.

Sayangnya, di Indonesia belum banyak kajian tentang lambang heraldik pada batu nisan. Saat saya mencoba mencari, saya hanya menemukan nama Lilie Suratminto. Pak Liliek adalah pengajar pada Program Studi Belanda Universitas Indonesia.

Saya belajar sedikit ilmu tentang batu nisan ini dari kajian Pak Liliek yang berjudul Teks pada Batu Nisan Baron van Imhoff Dilihat melalui Analisis Semiotika Model Peirce dan Danesi-Perron. Batu nisan yang dikaji Pak Liliek itu berada di Museum Wayang, di kawasan Kota Tua.
Batu nisan Baron van Imhoff
Menurut kajian Pak Liliek, secara keseluruhan, pesan nonverbal batu nisan menyerupai barisan prajurit yang dilengkapi dengan senjata perang dalam pertunjukan wayang kulit. Komponen pesan pada batu nisan itu meliputi iluminasi (hiasan tepi) dan lambang heraldik. Lambang heraldik pada batu nisan itu terdiri dari gambar naga, elang berkepala dua, helm perang, baju zirah, perisai, dan motif salib. Selain itu, ada pula gambar peluru, tong mesiu, bunga api meriam, simpul tali, pedang, laras meriam, keris, bendera Republik Belanda Serikat, lembing, dan  pedang.

Melihat banyaknya motif, pikiran saya langsung terbayang serumit apa pengerjaan sepapan batu nisan itu. Tapi, dari aneka lambang heraldik itulah kita akan mendapat gambaran tentang kehidupan Baron van Imhoff. Dia adalah gubernur jenderal yang memiliki banyak jasa bagi Belanda, seperti mendirikan istana gubernur di Bogor, meningkatkan kepemilikan tanah orang Eropa di Batavia, memberi izin pembangunan gereja Lutheran, dan mendirikan akademi kelautan.

Ini baru satu batu nisan yang saya tahu maknanya. Padahal, di Museum Taman Prasasti ada ribuan batu nisan. Belum lagi yang berada di Gereja Sion dan Pulau Onrust.

Oiya. Ketertarikan saya pada batu nisan berawal dari membaca tulisan di National Geographic, di samping rasa penasaran saya pada sejarah Indonesia. Semoga ke depannya, saya memiliki lebih banyak kesempatan belajar tentang batu nisan.

2 comments:

  1. Suka banget sama tulisanmu yang ini :)
    Kayaknya kita kudu ikut kelas filologi sastra deh,di =D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Xiexie.. Iya ya. Tapi sayangnya, di Undip kan cuma ada filologi sastra Indonesia, Cil. Sementara tulisan di nisan kan bahasa Belanda..

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)