Sebagai
mahasiswa yang masih mengandalkan biaya hidup dari kiriman orang tua, rasanya
sangat wajar jika ketebalan dompet bersifat fluktuatif. Ada yang dompetnya
sedang penuh di awal bulan, sedangkan di akhir bulan kering kerontang. Namun ada
pula yang selalu menunggu-nunggu akhir bulan sebagai momen menerima kiriman
uang dari orang tua.
Dalam
kasus ini, Vella dan saya masuk kategori kedua: menunggu kiriman uang dari orang
tua pada akhir bulan (tanggal 26-28). Sedangkan Dhea termasuk dalam kategori
pertama, yang mendapatkan uang di awal bulan. Meski Dhea mendapatkannya dengan cara
bekerja.
Namun
ternyata, hari ini, yang masih tanggal 10 April, kondisi keuangan kami sudah
menunjukkan krisis. Keuangan Vella tersisa 25 persen dari kiriman ayahnya, saya
masih 40 persen, sedangkan Dhea – ah kalau ini susah dideskripsikan. Yang pasti,
kami sudah harus menyiapkan strategi berhemat sampai dapat kiriman uang. Tabungan?
Ada sih, tapi itu teramat sangat keramat untuk disentuh!
Mengenai
alasan gampang-ludesnya-jatah-bulanan, kami sendiri sulit menemukannya. Tapi,
Vella memiliki argumen paling sakti: harga makanan di Semarang mengalami kenaikan.
Masak sih? Vella langsung menyebutkan beberapa bukti, semisal harga makanan di
sebuah warung yang terasa semakin mahal dan porsi nasi yang semakin kecil. Ah,
sudahlah. Yang pasti kami kudu berhemat.
Pagi
tadi, bersama Dhea dan Vella, kami makan di tempat langganan yang terkenal
murah. Kami menyebutnya warung Mami Kiting (karena rambut ibu pemilik warung
memang keriting). Sebagai strategi pengiritan, tentu kami memilih menu yang
terbilang biasa saja. Minum pun kami sudah menyiapkan air dalam tumbler. Pokoknya
makanan ini harus murah.
Nah,
saat membayar makanan, ternyata Vella hanya menghabiskan biaya Rp 5 ribu,
sementara Dhea dan saya membayar Rp 7 ribu. Sial, kali ini Vella juaranya. Tapi,
lumayan murahlah ya.
Agak
siang, saya tersadar Vella sampai meluapkan kondisi keuangannya di media
sosial, berbunyi, “Ini baru tanggal 10, dan itu berarti masih 18 hari menuju
tanggal 28. Yasallaaammm..” Huahahaha. Dhea dan saya sampai tertawa gara-gara
postingan itu. Yang lebih lucu lagi, respon pertama datang dari Alin, adiknya Vella,
yang intinya sama dengan kami: menertawakan kakaknya, hahaha.
Kemudian,
sore tadi, saat berada di atas motor dan melihat angkot berseliweran, tiba-tiba
Vella berkata, “Di, kayaknya aku udah lama banget ya, enggak naik angkot.”
Saya
pun memberi solusi, “Yaudah, berarti besok kita naik angkot aja. Habis itu naik
Trans Semarang keliling kota.”
“Oke,
boleh-boleh.”
“Habis
itu ke toko buku,” saya masih terus memberi ide.
“Preketeprek
ah. Duitku yang udah habis ini bakal makin habis lah. Enggak ah,”
“Ya
elah, Cil. Kayak enggak punya temen aja...”
“Nah,
iya ya. Entar kalau duitku habis, aku bisa minjem kamu. Aku balikin deh, di
akhir bulan.”
“Minjem?
Enak aja. Aku temenin kamu menderitalah. Kita bakal sama-sama berhemat sampai
dapet kiriman.”
“Hahahaha.
Iya ya. Ge Er banget aku.”
“Hahaha.
Kan itu gunanya temen. Nemenin temen yang lagi menderita.”
Dan
kami masih terus tertawa sampai akhirnya menepi di sebuah ATM, mengantar Vella kembali
menguras uang kiriman ayahnya.
Syeeemmm..di postingan ini kayaknya aku bener-bener menyedihkan banget yak =D
ReplyDeletePadahal kamu sendiri yang memulai dengan postingan itu loh cil, hahaha :D
Deletevella kih ono-ono wae alasannya ndes, padunya emang dia susah hemat. pacaran terus syihhhh wkwkwk *KABOORRRRRRR :p
ReplyDeleteEmang og, setiap makan dia selalu membahas harga makanan yang terus naik, hahaha *ikut kabooorrr* :D
Delete