Thursday, 10 April 2014

Teman di Kala Tak Ada Uang

Sebagai mahasiswa yang masih mengandalkan biaya hidup dari kiriman orang tua, rasanya sangat wajar jika ketebalan dompet bersifat fluktuatif. Ada yang dompetnya sedang penuh di awal bulan, sedangkan di akhir bulan kering kerontang. Namun ada pula yang selalu menunggu-nunggu akhir bulan sebagai momen menerima kiriman uang dari orang tua.

Dalam kasus ini, Vella dan saya masuk kategori kedua: menunggu kiriman uang dari orang tua pada akhir bulan (tanggal 26-28). Sedangkan Dhea termasuk dalam kategori pertama, yang mendapatkan uang di awal bulan. Meski Dhea mendapatkannya dengan cara bekerja.

Namun ternyata, hari ini, yang masih tanggal 10 April, kondisi keuangan kami sudah menunjukkan krisis. Keuangan Vella tersisa 25 persen dari kiriman ayahnya, saya masih 40 persen, sedangkan Dhea – ah kalau ini susah dideskripsikan. Yang pasti, kami sudah harus menyiapkan strategi berhemat sampai dapat kiriman uang. Tabungan? Ada sih, tapi itu teramat sangat keramat untuk disentuh!

Mengenai alasan gampang-ludesnya-jatah-bulanan, kami sendiri sulit menemukannya. Tapi, Vella memiliki argumen paling sakti: harga makanan di Semarang mengalami kenaikan. Masak sih? Vella langsung menyebutkan beberapa bukti, semisal harga makanan di sebuah warung yang terasa semakin mahal dan porsi nasi yang semakin kecil. Ah, sudahlah. Yang pasti kami kudu berhemat.

Pagi tadi, bersama Dhea dan Vella, kami makan di tempat langganan yang terkenal murah. Kami menyebutnya warung Mami Kiting (karena rambut ibu pemilik warung memang keriting). Sebagai strategi pengiritan, tentu kami memilih menu yang terbilang biasa saja. Minum pun kami sudah menyiapkan air dalam tumbler. Pokoknya makanan ini harus murah.

Nah, saat membayar makanan, ternyata Vella hanya menghabiskan biaya Rp 5 ribu, sementara Dhea dan saya membayar Rp 7 ribu. Sial, kali ini Vella juaranya. Tapi, lumayan murahlah ya.

Agak siang, saya tersadar Vella sampai meluapkan kondisi keuangannya di media sosial, berbunyi, “Ini baru tanggal 10, dan itu berarti masih 18 hari menuju tanggal 28. Yasallaaammm..” Huahahaha. Dhea dan saya sampai tertawa gara-gara postingan itu. Yang lebih lucu lagi, respon pertama datang dari Alin, adiknya Vella, yang intinya sama dengan kami: menertawakan kakaknya, hahaha.

Kemudian, sore tadi, saat berada di atas motor dan melihat angkot berseliweran, tiba-tiba Vella berkata, “Di, kayaknya aku udah lama banget ya, enggak naik angkot.”

Saya pun memberi solusi, “Yaudah, berarti besok kita naik angkot aja. Habis itu naik Trans Semarang keliling kota.”

“Oke, boleh-boleh.”

“Habis itu ke toko buku,” saya masih terus memberi ide.

“Preketeprek ah. Duitku yang udah habis ini bakal makin habis lah. Enggak ah,”

“Ya elah, Cil. Kayak enggak punya temen aja...”

“Nah, iya ya. Entar kalau duitku habis, aku bisa minjem kamu. Aku balikin deh, di akhir bulan.”

“Minjem? Enak aja. Aku temenin kamu menderitalah. Kita bakal sama-sama berhemat sampai dapet kiriman.”

“Hahahaha. Iya ya. Ge Er banget aku.”

“Hahaha. Kan itu gunanya temen. Nemenin temen yang lagi menderita.”


Dan kami masih terus tertawa sampai akhirnya menepi di sebuah ATM, mengantar Vella kembali menguras uang kiriman ayahnya.

4 comments:

  1. Syeeemmm..di postingan ini kayaknya aku bener-bener menyedihkan banget yak =D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal kamu sendiri yang memulai dengan postingan itu loh cil, hahaha :D

      Delete
  2. vella kih ono-ono wae alasannya ndes, padunya emang dia susah hemat. pacaran terus syihhhh wkwkwk *KABOORRRRRRR :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emang og, setiap makan dia selalu membahas harga makanan yang terus naik, hahaha *ikut kabooorrr* :D

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)