Monday, 31 March 2014

Caleg Perempuan Bukan Hanya Basa-Basi

facebook.com/perempuancaleg
Pesta pemilihan legislatif sudah di depan mata. Sudahkah kita menentukan calon legislator mana yang hendak dipilih? Dari sekian banyak nama caleg di lembar suara, bagaimana kalau kita mempertimbangkan memilih caleg perempuan?

Ada banyak baliho, spanduk, dan poster caleg yang menghiasi jalanan kota sampai pedesaan. Banyak di antara caleg itu menuliskan janji “jika saya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat”. Apakah para caleg itu akan menepati janji mereka? Entahlah. Tapi sebagai perempuan, saya memiliki cita-cita agar Indonesia semakin lebih baik, dengan kebijakan yang adil bagi perempuan. Kemudian di kepala saya malah terpikir nama-nama caleg perempuan.

Bukannya frustasi atau pesimistis pada caleg laki-laki. Hanya saja, saya merasa caleg perempuan akan lebih serius mengawal kebijakan yang menyangkut perempuan. Caleg perempuan lebih mengerti keinginan dan kebutuhan kaumnya. Sehingga, saya berpikir caleg perempuan akan mampu mewujudkan cita-cita itu.

Saya sangat bernapas lega, saat Komisi Pemilihan Umum mewajibkan partai politik memenuhi  affirmative action atau kuota 30 persen untuk mencalonkan perempuan dalam pemilihan legislatif. Kebijakan ini akan menjadi motivasi bagi para perempuan untuk maju mewakili kaumnya di parlemen. Terbukti, sejak bermunculan caleg perempuan pada pemilihan periode sebelumnya, minat perempuan untuk masuk ke kancah politik terus meningkat. Para perempuan tidak lagi memandang politik sebagai sesuatu yang maskulin.

Memang, saat ini keterwakilan perempuan dalam organisasi dan lembaga negara masih rendah. Bahkan di DPR RI saja, keterwakilan perempuan hanya 18 persen. Kesetaraan gender untuk menepis representasi politik yang dianggap tidak cocok bagi perempuan masih sulit dicapai. Terlebih, kuota 30 persen yang diwajibkan KPU hanya untuk pengisian daftar caleg dalam pemilihan legislatif. Sehingga, masih tetap sulit mempertahankan angka 30 persen caleg perempuan itu sampai terpilih dan duduk di parlemen.

Advokasi di parlemen

Ada banyak isu yang menyangkut perempuan, mulai dari kesejahteraan, kekerasan, perdagangan manusia, kesehatan ibu, sampai pendidikan. Bila caleg perempuan menguasai isu dengan baik, maka dari merekalah akan lahir kebijakan yang memang dibutuhkan perempuan.

Caleg perempuan memiliki motivasi besar untuk menelurkan terobosan kebijakan yang memihak perempuan. Kalau begitu, berarti negeri ini membutuhkan lebih banyak legislator perempuan untuk duduk di parlemen. Pasalnya, hanya dari legislator perempuanlah kebijakan ramah perempuan akan muncul, mengingat para legislator laki-laki cenderung enggan membahas isu perempuan secara serius. Lihat saja bagaimana negeri ini menyelesaikan permasalahan yang melibatkan perempuan. Kebanyakan malah tidak mencapai win-win solution.

Ada agenda perempuan di pundak para caleg perempuan. Para caleg perempuan memiliki tanggung jawab memperjuangkan keinginan kaumnya. Partisipasi perempuan di parlemen akan memperkaya ide dalam menganalisis suatu isu di masyarakat, yang selama ini hanya dibahas oleh legislator laki-laki. Padahal, beberapa isu itu berupa persoalan perempuan.

Perspektif perempuan jarang muncul di parlemen, sehingga kebijakan yang muncul tak mampu memberi banyak keuntungan bagi perempuan. Jika sebuah isu dianalisis dari banyak perspektif, kemungkinan besar kebijakan yang disahkan akan lebih aplikatif jika sampai di masyarakat. Terlebih, jika isu itu menyangkut kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan.

Caleg perempuan juga berkualitas

Di baliho, banyak caleg menyantumkan gelar akademiknya, tidak terkecuali caleg perempuan. Ini menjadi bukti bahwa para caleg perempuan juga telah mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan beberapa di antaranya bergelar doktor. Secara tidak langsung, saya ingin mengatakan para caleg perempuan memiliki kualitas yang baik, tidak kalah dari caleg laki-laki.

Jika ditilik dari rekam jejaknya, banyak juga caleg perempuan yang mulai belajar politik dari organisasi. Pengalaman organisasi akan mematangkan langkah seseorang dalam bertindak atau memutuskan suatu hal. Terlebih, selain pengalaman organisasi, beberapa caleg perempuan juga menjadi aktivis perlindungan perempuan dan anak.

Indonesia memang luas, dengan persebaran pendidikan, termasuk politik yang belum merata. Namun, kita juga tidak bisa meremehkan kerja keras partai politik yang serius memilih kader untuk diajukan pada pemilihan legislatif. Ya, parpol harus kerja keras mengkader caleg dengan pendidikan politik, mengingat kualitas kader yang dipilih (dan bila sukses masuk ke parlemen) akan memengaruhi reputasi partai. Dengan demikian, para caleg, termasuk yang perempuan, memang memiliki kualitas yang baik dan layak untuk dipilih.

Saya percaya, parpol tidak berani “asal comot” caleg perempuan untuk diajukan dalam pemilihan legislatif. Saya juga percaya, parpol tidak sedemikian ceroboh menggunakan rumus “genap-genapan” terhadap caleg perempuan demi memenuhi daftar perebutan kursi di parlemen Senayan.

Ini bukan perkara jatah yang harus dipenuhi partai dalam pencalonan dan jumlah caleg perempuan yang terpilih di parlemen. Meski pada kenyataannya, KPU sampai harus “mengancam” akan mencoret parpol yang tidak mencalonkan minimal 30 persen perempuan. Lebih dari itu, selama perempuan mampu, sepertinya kuota 30 persen di parlemen bisa dengan gampang terlewati.

Dengan kualitas personal pula, para caleg perempuan akan mudah merangkul para pemilih dari kalangan perempuan, termasuk di pedesaan. Bila terdapat kesamaan visi di antara caleg dan pemilih (pemilih merasa keinginannya diakomodir caleg), maka tak perlu lagi menggunakan cara kotor semacam pertanyaan “wani piro?” untuk menghimpun suara. Di sini, malah ada keuntungan lagi yang didapat dari caleg perempuan, yaitu pendidikan politik untuk kalangan ibu rumah tangga.

Saya optimistis persentase perempuan di parlemen akan terus meningkat. Meski di beberapa daerah di Indonesia para caleg perempuan terbentur iklim partriarki yang kuat, semangat berjuang kaum perempuan tidak mudah terhenti. Hingga suatu saat nanti, seluruh kebijakan di Indonesia akan ramah perempuan dan tetap bersahabat bagi kaum laki-laki. Bukankah itu yang namanya kesetaraan? Ah, indahnya Indonesia.


4 comments:

  1. Jangan pandang perempuan dengan sebelah mata.karena perempuan sebenarnya juga memiliki kemampuan memimpin yang jauh lebih baik dari laki-laki dengan sifat alamiahnya-Kepekaan.Right,Di? :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga cita-cita kita sebagai perempuan bisa diwujudkan oleh para legislator perempuan yak :)

      Delete
  2. cukup banyak pihak yang memandang sebelah mata pribadi para caleg perempuan ini, tidak ada yang salah, sebab setiap hal selalu ada pro dan kontra, dan adanya beberapa pihak untuk mengkritisi itu perlu. fungsinya, jelas untuk menggembleng para calon pemimpin ini untuk selalu menjadi lebih baik, maju terus prempuan Indonesia ^^9

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang enggak gampang ya jadi anggota parlemen. Meski sebelum masuk parlemen para caleg sudah belajar banyak, isu yang bermunculan kerap kali justru dinamis. Jadi, memang sebuah keharusan ya bagi mereka untuk terus belajar :D

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)