kpudemak.wordpress.com |
Kurang dari sebulan, Indonesia akan
merayakan pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat di Parlemen. Mungkin ada
baiknya, kita segera bersiap diri, dengan mulai mengamati siapa yang layak
mewakili kita dalam mengambil kebijakan. Paling tidak, aku ingin secara cerdas
memilih, sosok yang akan kuberi amanah duduk di Parlemen.
Dalam Pemilu 2014 ini, aku termasuk
pemilih pemula. Pemilu 2014 akan menjadi pengalaman pertamaku memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelumnya, aku pernah berpartisipasi dalam pemilihan
kepala daerah Jawa Tengah pada 26 Mei 2013.
Ternyata, pemilih pemula sama sekali
tidak boleh disepelekan loh. Berdasarkan data BPS pada 2010, kelompok usia
10-14 tahun ada 22.677.490 jiwa dan kelompok usia 15-19 tahun ada 20.871.086
jiwa. Jika diasumsikan separuh dari kelompok usia 10-14 tahun saat ini berusia
17 tahun dan kelompok usia 15-19 tahun semuanya menjadi pemilih, maka ada
sekitar 32 juta jiwa potensi suara pemilih pemula pada Pemilu 2014. Kelompok
pemilih pemula inilah yang berpotensi dalam pemenangan Pemilu 2014.
Pada semester lalu, aku mengambil
Komunikasi Politik sebagai mata kuliah pilihan. Ujian akhir semester mata
kuliah itu berupa take home exam. Kami diminta Mas Gono, dosen kami,
menganalisis potensi pemilih pemula untuk pemenangan calon legislatif dalam
Pemilu 2014 dan strategi kampanye yang dapat ditempuh sang calon legislatif.
Poin utamanya, pemilih pemula aku
gambarkan sebagai sosok yang cerdas, kritis, dan melek informasi. Namun, aku
juga mencatat pemilih pemula cenderung labil dalam menentukan pilihan, atau
bahkan apatis terhadap isu politik di Tanah Air.
Aku tidak ingin pesimistis. Pada
Pemilu nanti, semoga, paling tidak, ada lebih dari separuh pemilih pemula yang
bersedia menggunakan hak suaranya. Lebih bersyukur lagi, jika para pemilih
pemula ini memilih berdasarkan keyakinannya akan kualitas sang calon
legislatif. Tanpa embel-embel apa pun.
Pada pertengahan Maret,
proses kampanye sudah resmi dibuka. Di Jawa Tengah, kampanye itu dimulai hari
ini. Di sepanjang jalan utama kota, sudah banyak kendaraan yang berhias bendera
partai dan caleg yang berpose narsis di atas lembaran pamflet. Beberapa mobil
dilengkapi sirine yang super berisik. Ada pula pawai sepeda motor, yang malah
bikin macet. Melihat pemandangan itu, bukannya simpati, aku malah jadi
antipati.
Mengenai calon pilihan, sebenarnya aku sudah memiliki beberapa kriteria. Ada yang klise, tapi ada pula yang sedikit berbeda. Kriteria yang agak sedikit berbeda itu adalah anticalon legislatif yang memasang alat peraga kampanye di pohon dan tiang listrik. Memang sih, sudah banyak gerakan resmi tentang anticalon legislatif yang memasang alat peraga kampanye di pohon dan tiang listrik. Tapi, dari pengalaman pribadi, aku tahu masih banyak calon pemilih yang tidak menyadari, kalau aksi itu melanggar aturan. Terkesan biasa saja.
Secara tidak sadar, otakku langsung memilah calon legislatif mana yang masuk kategori "maybe" dan "big no!". Kategori "maybe" ada beberapa, yang akan terus terseleksi sampai waktu pemilihan nanti. Memang sih, sampai sekarang aku belum mempelajari latar belakang, visi, dan misi sang calon pilihan. Padahal, sudah banyak informasi tentang calon legislatif di internet. Bahkan, aku terkadang masih bingung, lebih dulu memilih calon legislatif berdasarkan sosok pribadinya atau partai pengusung, hahaha. Nah, kalau calon legislatif yang masuk daftar "big No!" berarti itu adalah rentetan orang yang tidak akan aku pilih.
Memiliki kriteria untuk calon legislatif, menurutku itu juga harus. Setidaknya, dengan memiliki kriteria, kita akan termotivasi mencari sosok anggota dewan sesuai selera pribadi dan hati nurani. Ini juga yang akan menjadi benteng kita agar tidak mudah termakan janji sang calon legislatif.
Kalau soal money politik? Ini tetap harus dihindari. Ini menyangkut harkat dan martabat kita sebagai manusia. Soal harga diri. Masa iya, kita rela memberikan suara hanya demi duit Rp 50 ribu? Masa iya, kita rela mempertaruhkan Indonesia lima tahun ke depan dipimpin oleh orang yang tidak bagus? Tidak mengerti hak dan kewajibannya sebagai legislatif? Atau, masak iya kita rela, orang yang sekarang kita pilih nantinya justru malah mengkhianati kita, rakyatnya? Aku sih tidak mau.
Untuk itulah, yuk kita, terutama para pemilih pemula, memanfaatkan momen Pemilu untuk memilih pemimpin secara serius. Tanpa alasan uang apalagi ikut-ikutan. Kita bisa kok bersikap cerdas, demi Indonesia lima tahun ke depan.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)