Telegraph.co.uk |
Pertengahan tahun 2013, Prancis
melarang perempuan mengenakan pakaian yang menutup tubuh secara
keseluruhan-termasuk wajah-atau burqa (penulisannya entah “burqa” atau “burka”,
dua-duanya tidak ada di kamus bahasa Indonesia). Meski diiringi kecaman dari
umat muslim di Prancis, kebijakan larangan berburqa itu tetap diterapkan
pemerintah.
Pemerintah Prancis
beralasan, larangan berburqa tidak berkaitan dengan norma dan tradisi negara
itu, sehingga tetap bisa diterapkan. Selain itu, Prancis juga menyatakan hukum
itu dibuat demi melindungi perempuan (yang sampai sekarang pun, aku masih tidak
mengerti melindungi dalam hal apa). Mungkinkah melindungi dari ancaman
diskriminasi berdasarkan agama? Tapi, bukankah melalui larangan berburqa itu
sendiri, Prancis justru memberi kesan diskriminatif dan tidak pro-keberagaman?
Mengapa saat mengambil
kebijakan, para perempuan berburqa tidak dilibatkan? Bagaimana bisa suatu
negara tidak mendengarkan masukan dari pihak yang bakal bersinggungan langsung
dengan aturan itu? Bahkan, mengenai hukuman mengenakan burqa, pemerintah Prancis
mematok denda 300 euro.
Dalam pelaksanaannya,
polisi Prancis bahkan merazia dan menangkap perempuan berburqa. Setidaknya, ada
dua perempuan berburqa yang ditangkap dan terkena denda. Kini, aturan yang
tercetus dari ide Presiden Nicolas Sarkozy itu sampai ke Mahkamah Eropa. Belum
jelas pula kelanjutan kabar dari mahkamah.
Sejatinya, aku tak tahu
banyak tentang kewajiban berburqa dalam Islam. Entah itu murni ajaran agama
atau telah beralkulturasi dengan tradisi. Yang pasti, setahuku, setiap orang
bebas menjalankan ibadah sesuai agama masing-masing, asal tidak mengganggu umat
agama lain.
Sekarang, aku jadi
berandai-andai, bagaimana jika aku terlahir di tengah masyarakat yang berpegang
pada kultur “perempuan di atas lima tahun wajib berburqa”? Bagaimana pandanganku
tentang burqa?
Bagi kalian yang bukan
dari kultur serupa denganku, mungkin berpikir burqa akan mengukungku dari dunia
luar. Minim akses pendidikan dan kesempatan “menikmati” dunia luar. Atau secara
sederhana, aku harus menahan gerah saat mengenakan burqa yang membungkus badan
dan hanya mampu mengintip dunia lewat sulaman jaring-jaring penutup mata.
Dari buku karangan Agustinus Wibowo,
aku tahu bahwa perempuan berburqa tidak pernah menyesali posisi mereka yang
terlahir dengan kultur wajib mengenakan burqa. Kami merasa nyaman dengan
kondisi anonim itu. Kami juga merasa aman bila tidak bisa dikenali saat berada
di keramaian. Lebih dari itu, kami pun tetap merasa bahagia bila harus
bersembunyi di balik tembok saat kedatangan tamu laki-laki.
Perempuan berburqa justru
merasa kasihan pada perempuan yang harus bekerja di luar rumah, lengkap dengan
identitas yang melekat dalam diri masing-masing. Kami berpikir betapa
kasihannya perempuan yang harus kerja keras di luar rumah dan berbaur dengan
kaum laki-laki. Kami bahkan bertanya, apakah perempuan yang kehadirannya
diketahui orang lain tidak mendapat perlindungan dari keluarganya-ayah, suami,
atau saudara?
Memang, saat Taliban
berkuasa, burqa menjadi pakaian wajib kaum perempuan. Tapi, kini, setelah
Taliban runtuh, kami para perempuan masih tetap nyaman mengenakan burqa. Kami
sama sekali tidak menganggap burqa sebagai aturan warisan dari Taliban.
Tolong, berhentilah
berdebat tentang pakaian yang kami kenakan. Kami nyaman mengenakannya. Kita
jalani saja, tradisi dan aturan yang memang kita anut. Toh, masing-masing dari
kita memang nyaman melakukannya.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)