Friday, 14 March 2014

Jika Aku Menjadi Tukang Becak, Pemulung, atau Sopir Angkot

Greenad-sparks.com
Tenang saja, aku sama sekali tidak ingin berandai-andai layaknya masuk acara reality show itu kok. Saat ini, aku sedang membayangkan diri sebagai orang dari pekerjaan tukang becak, pemulung, atau sopir angkot, saat di depan televisi.

Dari riset Nielsen Indonesia pada 2013, diketahui 94 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi media melalui televisi. Dari angka tersebut, ada 2,3 persen yang menonton televisi ber-genre program, atau lebih dari 1,2 juta penonton di atas 5 tahun di 10 kota besar di indonesia. Selain itu, ada pula genre komedi dan sinetron yang ditonton 1 juta orang.

Mengenai durasi menonton televisi, masyarakat Indonesia menghabiskan 24 persen dari total jam menonton mereka selama setahun untuk menyaksikan sinetron, atau sekitar 197 jam. Angka itu masih lebih tinggi ketimbang durasi menonton televisi ber-genre pencarian bakat, komedi, musik, atau permainan, yang “hanya” sekitar 20 persen atau selama 168 jam selama setahun.

Nah, dari data tersebut, jika ada 94 persen masyarakat Indonesia menonton televisi, berarti orang dengan pekerjaan tukang becak, pemulung, atau sopir angkot, juga turut menonton televisi dong?

Sekarang kita bicara soal tayangan di televisi. Pernah lah ya (atau sering) kita menyaksikan tayangan ber-genre sinetron, program, atau komedi yang menampilkan orang dari kalangan tukang becak, pemulung, atau sopir angkot. Sayangnya, di televisi, jarang sekali pekerjaan mereka digambarkan dengan sesuatu hal yang “mulia”.

Sebaliknya, pekerjaan tukang becak, pemulung, atau sopir angkot, kerap dijadikan bahan hinaan dan candaan. Padahal, kalau dipikir-pikir, mereka itu bekerja loh. Berusaha mencari rejeki secara halal, bukan korupsi atau menipu orang lain.

Jika aku menjadi tukang becak, pemulung, atau sopir angkot, entah bagaimana perasaanku menyaksikan pekerjaanku dijadikan bahan hinaan dan candaan. Bagaimana pula dengan perasaan anak-anakku, melihat pekerjaan orang tuanya menjadi bahan tertawaan sekian juta penonton televisi di Indonesia. Padahal, dari pekerjaan itulah, anak-anak ini bisa bersekolah.

Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa orang-orang di balik tayangan itu terpikir untuk menjadikan pekerjaanku sebagai bahan tertawaan? Apakah isu seputar beratnya kehidupan yang dihadapi para tukang becak, pemulung, atau sopir angkot, memang sangat seksi jika diangkat ke televisi? Bagaimana orang-orang televisi itu bertanggungjawab atas bias pekerjaan ini?

Ingin rasanya aku tidak menonton tayangan semacam itu. Tapi aku bisa apa lagi? Sepulang bekerja badanku sudah teramat lelah, memerlukan hiburan sekadar untuk menyegarkan pikiran. Meski di televisi hanya ada program yang menampilan kehinaan pekerjaan tukang becak, pemulung, atau sopir angkot, aku tidak bisa menolak menontonnya.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)