Greenad-sparks.com
|
Tenang saja, aku sama
sekali tidak ingin berandai-andai layaknya masuk acara reality show itu
kok. Saat ini, aku sedang membayangkan diri sebagai orang dari pekerjaan tukang
becak, pemulung, atau sopir angkot, saat di depan televisi.
Dari riset Nielsen
Indonesia pada 2013, diketahui 94 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi media
melalui televisi. Dari angka tersebut, ada 2,3 persen yang menonton televisi
ber-genre program, atau lebih dari 1,2 juta penonton di atas 5
tahun di 10 kota besar di indonesia. Selain itu, ada pula genre komedi
dan sinetron yang ditonton 1 juta orang.
Mengenai durasi menonton
televisi, masyarakat Indonesia menghabiskan 24 persen dari total jam menonton
mereka selama setahun untuk menyaksikan sinetron, atau sekitar 197 jam. Angka
itu masih lebih tinggi ketimbang durasi menonton televisi ber-genre pencarian
bakat, komedi, musik, atau permainan, yang “hanya” sekitar 20 persen atau
selama 168 jam selama setahun.
Nah, dari data tersebut,
jika ada 94 persen masyarakat Indonesia menonton televisi, berarti orang dengan
pekerjaan tukang becak, pemulung, atau sopir angkot, juga turut menonton
televisi dong?
Sekarang kita bicara soal
tayangan di televisi. Pernah lah ya (atau sering) kita menyaksikan tayangan
ber-genre sinetron, program, atau komedi yang menampilkan orang
dari kalangan tukang becak, pemulung, atau sopir angkot. Sayangnya, di
televisi, jarang sekali pekerjaan mereka digambarkan dengan sesuatu hal yang
“mulia”.
Sebaliknya, pekerjaan
tukang becak, pemulung, atau sopir angkot, kerap dijadikan bahan hinaan dan
candaan. Padahal, kalau dipikir-pikir, mereka itu bekerja loh. Berusaha mencari
rejeki secara halal, bukan korupsi atau menipu orang lain.
Jika aku menjadi tukang
becak, pemulung, atau sopir angkot, entah bagaimana perasaanku menyaksikan
pekerjaanku dijadikan bahan hinaan dan candaan. Bagaimana pula dengan perasaan
anak-anakku, melihat pekerjaan orang tuanya menjadi bahan tertawaan sekian juta
penonton televisi di Indonesia. Padahal, dari pekerjaan itulah, anak-anak ini
bisa bersekolah.
Aku tidak habis pikir,
bagaimana bisa orang-orang di balik tayangan itu terpikir untuk menjadikan
pekerjaanku sebagai bahan tertawaan? Apakah isu seputar beratnya kehidupan yang
dihadapi para tukang becak, pemulung, atau sopir angkot, memang sangat seksi jika
diangkat ke televisi? Bagaimana orang-orang televisi itu bertanggungjawab atas
bias pekerjaan ini?
Ingin rasanya aku tidak
menonton tayangan semacam itu. Tapi aku bisa apa lagi? Sepulang bekerja badanku
sudah teramat lelah, memerlukan hiburan sekadar untuk menyegarkan pikiran.
Meski di televisi hanya ada program yang menampilan kehinaan pekerjaan tukang
becak, pemulung, atau sopir angkot, aku tidak bisa menolak menontonnya.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)