Studlife.com
|
Aku ingin berbicara
tentang pelacuran. Aku ingin berbicara tentang pelacuran dengan pemaksaan. Aku
ingin berbicara tentang perempuan yang secara terpaksa terlibat dalam bisnis
pelacuran, sebagai objek.
Aku sedang berandai-andai,
berada dalam sebuah kotak kontainer yang akan menembus batas teritori negara.
Aku akan diselundupkan ke sebuah daratan di seberang lautan. Di dalam kontainer
ini, ada aku dan puluhan perempuan lain yang baru berusia belasan tahun. Kami
dijejalkan dalam kotak gelap dan pengap, menuju sebuah daratan yang bahkan aku
tidak pernah dengar namanya, selama berhari-hari.
Berbagai pertanyaan
hinggap di kepala. Seperti apa negeri seberang itu, indahkah, damaikah,
menyenangkankah? Kepada siapa aku akan bekerja? Seperti apa pekerjaan yang akan
aku lakukan, sampai bisa membuatku kaya? Apakah memang di negeri seberang sana,
aku bisa bahagia?
Sederet pertanyaan itu
hanyalah upayaku menepis tembok ketakutan dalam diriku, yang semakin lama
terasa semakin dekat dan siap menelanku bulat-bulat. Ada banyak cerita tentang negeri
yang akan aku jejaki itu...
Kata seorang tetanggaku,
yang kebetulan bekerja di kota, ada banyak pekerjaan di luar negeri sana. Jika
aku mau bekerja di sana, beberapa tahun lagi aku bisa kembali ke desa dengan
uang yang banyak. Aku akan mampu menghidupi keluargaku, hingga ayahku tidak
perlu lagi mencangkul tanah tandus di ladang. Aku akan bisa menyekolahkan
adik-adikku sampai tinggi.
Hingga suatu hari, dari
hasil tabungan orang tua, aku membayar ongkos ke luar negeri kepada tetanggaku
itu. Aku diangkut menuju kota, yang baru pertama kali ini aku melihatnya. Aku
dibawa ke sebuah rumah, yang di dalamnya ada banyak perempuan seusiaku, atau
bahkan lebih muda dariku. Mereka memiliki mimpi yang sama denganku, mendapat
pekerjaan bagus di luar negeri dan pulang saat sudah banyak uang. Aku melayang
di atas imaji menyenangkan sebagai orang sukses dan kaya.
Tapi, di tempat itu, aku
mendengar bisik-bisik tentang rencana orang-orang kota ini untuk menjualku
sebagai pelacur di luar negeri. Iya, pelacur.
Kini, kami sudah berada di
dalam kontainer, yang akan mengantarkan aku dan para gadis itu ke negeri nan
jauh di sana.
Pikiran-pikiran buruk
tentang dunia pelacuran langsung menyeruak di kepalaku.
Aku akan menjadi bagian
dari tiga juta perempuan dan anak perempuan di dunia ini yang menjadi
budak seks. Menjadi alat pemuas lelaki yang frustasi akan nafsu seksualnya.
Sampai kapan aku menjadi
pelacur? Sampai matikah? Mati karena pukulan mucikari atau terjangkit HIV/AIDS?
Aku tidak rela mati di rumah pelacuran.
Bagaimana jika aku sampai
punya anak? Anakku akan dijadikan jaminan oleh mucikari, hingga aku akan
semakin berat untuk kabur meninggalkan rumah maksiat itu. Jika anakku sudah
besar, dia juga akan bekerja di rumah pelacuran ini. Meneruskan pekerjaanku
sebagai pelacur jika perempuan, dan menjadi pelayan jika laki-laki.
Semua ini karena aku bodoh
dan keluargaku miskin. Aku tidak tahu apa-apa, tidak memiliki keterampilan sama
sekali, dan tidak bisa bekerja. Bisa-bisanya aku tergoda rayuan si tetangga
yang justru menjerumuskanku dalam bisnis kotor ini. Andai aku punya pilihan
selain menjadi pelacur.
Aku sudah sampai di
dermaga. Terbebas sudah dari kungkungan kontainer pengap yang membawaku melintasi
batas negara. Menghirup udara pantai yang segar, sambil bersiap menjalani
pekerjaan berat di daratan ini.
Good b^,^d
ReplyDelete