Tuesday, 4 March 2014

Quality Time ala Aku





Di usiaku yang sudah mencapai  21 tahun, sering rasanya terbersit keinginan untuk menikmati kebersamaan di tengah keluarga. Bila dihitung sejak masuk kuliah, berapa banyak waktu yang aku habiskan di rumah? Rasanya sangat jarang. Padahal, jarak rumah dengan kosan hanya sekitar 1,5 jam perjalanan. Itulah alasanku ingin menciptakan momen berharga saat berada di rumah, atau setidaknya membuat kami selalu merasa dekat.

Beberapa waktu belakangan ini, aku berusaha menyempatkan diri pulang ke rumah. Meski kenyataannya pulang itu sekadar numpang tidur, karena hanya semalam aku berada di rumah.

Aku berpikir cara mengefektifkan waktu di rumah. Jika momen berbagi cerita tentang adikku di sekolah, ayah-ibu di kantor, dan aku di kampus, sudah memakan waktu sampai larut malam, ternyata aku masih menginginkan lebih. Apa saja, yang akan lebih mendekatkan aku dengan keluarga, terutama ayah dan ibu.

Aku tahu ayah suka bermain catur. Ayah sering membanggakan dirinya sendiri saat berhasil mengalahkan kawan-kawan kantornya dalam permainan catur kala jam istirahat. Atau saat dia memulai belajar catur di bangku sekolah dasar, dan kerap memenangi kejuaran catur tingkat desa.

Aku ingin belajar catur dari ayah!

Aku langsung membeli papan catur di sebuah toko mainan dekat kampus. Aku tidak paham ukuran papan, jadi aku asal ambil saja (yang ternyata dibilang ayahku papannya terlalu kecil).

Aku tahu bermain catur melawan ayah bukanlah hal gampang. Agar tidak terkesan buta tentang catur, aku sudah mencuri start belajar catur kepada Vella. Terhitung dua kali Vella khusus mampir ke kos untuk mengajariku bermain catur. Dia menjelaskan nama bidak, lokasi penempatan, dan cara berjalannya. Kami bermain berkali-kali, tapi aku tetap kalah. Tidak pernah sekali pun menang.

Meski belum paham betul tentang catur, aku tetap nekat membawa papan permaiann itu ke rumah. Sempat beberapa kali bermain catur, aku tetap kalah. Sialnya, ayah selalu mengalahkanku meski permainan masih di bawah sepuluh langkah. Aku sudah berusaha nego agar ayah mengalah dan berbagi sedikit triknya.

“Wah, aku kalah lagi. Kenapa enggak mau mengalah, dan aku bisa bermain lebih lama?”

“Kalau aku mengalah, kapan kamu belajarnya. Kamu pelajari saja strategiku.”

Ah, ayah selalu begitu.

Ibu berbeda dengan ayah.

Kalau ibu... Ah, iya. Dulu semasa aku duduk di bangku SMP, ibu pernah menunjukkan jarum aneh yang katanya untuk merajut. Aku tidak terlalu mengingat bentuk jarumnya. Namun kini, aku ingin belajar merajut dari ibuku.

Aku berbelanja peralatan merajut di sekitar Pasar Johar. Aku tidak tahu apa-apa tentang merajut. Ada banyak jenis benang di toko itu. Dengan sotoynya, aku langsung memilih sepintal benang berwarna hijau muda dan putih, tanpa tahu jenis benangnya. Kemudian aku memilih jarum rajut, yang belakangan aku tahu itu bernama hakpen. Ow, ternyata ada banyak ukuran. Dengan sotoy lagi, aku memilih ukuran hakpen yang terbesar dan terkecil.

Ternyata merajut membutuhkan ketelitian. Aku sampai semalaman belajar simpul untuk mengawali rajutan. Memegang hakpen saja aku masih sering keliru. Kalau kata ibuku, memegang hakpen seperti kita menulis menggunakan pulpen.

Setelah memegang hakpen, ibu mulai mengajariku merajut. Benang dililitkan di telunjuk tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang hakpen.  Sementara untuk memegang rajutan gunakan ibu jari dan jari tengah tangan kiri. Inti membuat rajutan sebenarnya cuma simpul rantai, yang diulang-ulang saja. Tapi praktiknya, susah minta ampun. Beberapa kali benangku tersangkut di hakpen dan rajutan terlepas begitu saja.

Sekarang, aku masih belajar merajut yang rapi. Rencananya, aku akan membuat syal. Hasil rajutan di rumah akan aku selesaikan di kos (meski tidak pasti kapan aku sanggup menyelesaikannya).


Aaaaahhh. Sepertinya, dengan kesulitanku belajar bermain catur dan merajut, aku jadi punya banyak kesempatan untuk berdekatan dengan orang tua. Semacam itulah. Ternyata aku sangat menikmatinya.

2 comments:

  1. Eciyeee..dian.so sweet banget deh kamyuh :)

    ReplyDelete
  2. Waduh, alamat bergejolak bumi Indonesia kalau si Dian belajar merajut. Ckck....mumpung belajar masak ya??? :P

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)